Ads 468x60px

Kamis, 26 April 2012

studi komparatif hukum islam dan undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan beda agama

Perkawinan menurut agama Islam, ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan sexuil, untuk melanjutkan keturunan yang sah serta mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan kedamaian baik didalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.



Menurut agama Islam, proses hubungan sexsuil manusia harus berjalan dengan semangat kerukunan dan kedamaian dengan menghormati hak-hak azasi manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan wanita untuk menempuh kehidupan yang baik di dunia.

Arti perkawinan menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari pada nikah adalah “dham” yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul” sedangkan arti kiasannya ialah “wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.

Dalam pada itu, perkawinan yang disyariatkan agama Islam mempunyai beberapa segi, diantaranya ialah :

Segi ibadah

Perkawinan menurut agama islam mempunyai unsur-unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agamanya.

Sabda Rasulullah SAW :

“Barang siapa yang telah dianugerahi Allah isteri yang saleh, maka sesungguhnya ia telah mengusahakan sebahagian agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada bahagian yang lain”

(H.R. Thabrani dan Al Hakim dan dinyatakan shaheh sunatnya)

Segi hukum

Perkawinan yang menurut disyariatkan agama Islam merupakan suatu perjanjian yang kuat, sebagaimana Firman Allah SWT :

“Bagaimana kamu akan mengambil harta yang telah kamu berikan kepada bekas isterimu, padahal sebagian kamu telah bercampur (bergaul) dengan yang lain sebagi suami isteri. Dan mereka (isteri-isteri) telah mengambil dari kamu janji yang kuat. (Q.S An-Nisa : 21)

Sebagi perjanjian, perkawinan mempunyai beberapa sifat :

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Akibat perkawinan, masing-masing pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu terikat oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan ditentukan persyaratan berpoligami bagi suami-suami yang hendak melakukannya.
Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian itu dapat dirobah sesuai dengan persetujuan masing-masing pihak dan tidak melanggar batas-batas yang ditentukan agama.

Perkawinan bukan semacam jual beli. Dalam jual beli ada keseimbangan antar nilai jumlah uang yang ditentukan bagi sipembeli dengan barang yang diserahkan oleh penjual

Segi sosial

Hukum Islam memberikan kedudukan sosial yang tinggi kepada wanita (isteri) setelah dilakukan perkawinan, ialah dengan adanya persyarat bagi seorang suami untuk kawin lagi dengan isterinya yang lain, tidak boleh suami mempunyai isteri lebih dari empat, adanya ketentuan hak dan kewajiban suami dan isteri dalam rumah tangga, dan sebagainya. Perkawinan dilakukan untuk membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencitai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Keluarga-keluarga yang seperti inilah yang akan merupakan batu bata, semen, pasir, kapur dan sebagainya dari hubungan umat yang dicita-citakan oleh agama Islam. Karena itu Rasulullah SAW melarang kerahiban, hidup menyendiri dengan tidak kawin yang menyebabkan hilangnya keturunan, keluarga dan melenyapkan umat.

Agama Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik dan teratur sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja tetapi di ikat juga dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut ajaran Islam perkawinan itu tidaklah hanya sebagai suatu persetujuan biasa melainkan merupakan suatu persetujuan suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
Tujuan perkawinan ialah :

Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan
Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
Memperoleh keturunan yang sah
Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan

menumbuhkan aktivitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.

Hukum Islam mengatur tentang syarat-sayarat dan rukun perkawinan menurut firman Allah dalam Al-Quran (yang tidak dapat dirubah dan berlaku sepanjang masa) dan Al-Hadits.

Adapun perbedaan syarat-syarat dan rukun perkawinan Islam yaitu bahwa syarat-syarat merupakan hal-hal yang harus dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan, sedangkan rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan.

Rukun perkawinan Islam terdiri dari :

Harus ada calon suami dan isteri, atau wakilnya
Harus ada wali dan calon isteri, atau wakilnya
Harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat.
Adanya ijab-qabul

Adapun syarat-syarat perkawinan yaitu :

Adanya persetujuan dari kedua calon suami isteri dan dari wali calon isteri
Beragama Islam, cukup dewasa dan sehat pikirannya
Tidak ada hubungan kekeluargaan sedarah yang terlampau dekat
Tidak ada hubungan semenda
Tidak ada hubungan sepersusuan
Calon isteri tidak terikat dalam suatu tali perkawinan
Tidak ada perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri.

Syarat-syarat perkawinan Islam tentang tidak adanya perbedaan agama antar calon suami dan calon isteri tersebut diatas hanya berlaku mutlak bagi wanita Islam.

Dalam Al-Quran surat Al-Um, Rasulullah SAW mengharamkan perkawinan wanita Islam dengan pria yang bukan Islam.

Adapun alasan melarangn perkawinan antara sorang wanita Islam dengan pria yang bukan Islam adalah disebabkan karena wanita bersifat lemah hati dan mudah tersinggung perasaannya serta karena kebanyakan wanita berada dibawah kekuasaan pihak laki-laki, maka dikhawatirkan wanita Islam itu murtad meninggalkan Islam.

Bagi pria Islam, Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 menyatakan bahwa diperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan bukan Islam asal saja perempuan itu ahli kitab.

Pria Islam yang ingin menikah dengan wanita yang beragama Jahudi dan Kristen, yaitu wanita-wanita yang berpegang teguh kepada Kitab Suci Taurat dan Kitab Suci Injil dapat diperkenankan atau tidak dilarang asal pihak laki-laki Islam itu kuat imannya dan rajin ibadahnya, baik moral dan mempunyai wibawa dalam rumah tangga, dapat membina rumah tangga serta mendidik isterinya sehingga lambat laun bisa menerima agama Islam dan menjalankannya secara baik.

Pengaturan mengenai perkawinan antar agama menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Perkawinan dianggap sah apabia diakui oleh negara. Diakui oleh negara berarti harus telah memenuhi syarat-syarat dan acara-acara yang ditentukan oleh hukum positif

Mengenai perkawinan antar agama apabila kita teliti pasal-pasal dan penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, kita tidak menemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antar agama tersebut, disamping itu apabila kita teliti maka kita hanya dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara tersurat maupun tersirat yang melarang dilakukannya perkawinan antar agama.

Apakah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 memperbolehkan atau melarang perkawinan antar agama ? Menurut hemat penulis, untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya ada dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut yang dapat kita jadikan sebagai pedoman, yaitu :

Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara.

Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.

Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.

Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.

Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri.

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan persoalan tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing pihak.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman